KPPGPPL BLOG: Juni 2015

Jumat, 19 Juni 2015

Peninggalan Zaman Megalitikum

Zaman Megalitikum (mega berarti besar dan lithikum atau lithos berarti batu) disebut juga zaman batu besar. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar yang berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang. Kebudayaan ini berlangsung hingga zaman logam, bahkan sampai saat ini kita masih dapat menjumpai di berbagai daerah di indonesia sebagai sisa-sisa tradisi budaya Megalitikum.

Adapun hasil budaya Megalitikum ini meliputi: menhir, batu berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis arca berukuran besar.

1. Menhir

Menhir Kerloas, Bretagne, Prancis.
Menhir adalah batu tunggal, biasanya berukuran besar, yang ditatah seperlunya sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik, dari kata men (batu) dan hir (panjang). Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar di atas tanah, namun pada beberapa tradisi juga ada yang diletakkan terlentang di tanah. Menhir, bersama-sama dengan dolmen dan sarkofagus, adalah megalit. Sebagai salah satu penciri utama budaya megalitik, pembuatan menhir telah dikenal sejak periode Neolitikum (mulai 6000 Sebelum Masehi). Beberapa menhir memiliki pahatan pada permukaannya sehingga membentuk figur tertentu atau menampilkan pola-pola hiasan. Menhir semacam ini dikenal sebagai menhir arca (statue menhir). Pada kebanyakan kebudayaan, tradisi pembuatan menhir telah berlalu, diganti dengan pembuatan bangunan; namun demikian di beberapa tempat, terutama di Nusantara, tradisi ini masih dilakukan hingga abad ke-20.

Lokasi penemuan menhir tercatat di Eropa, Timur Tengah, Afrika Barat, India, Korea, serta Nusantara. Para arkeolog melihat bahwa menhir digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang. Kata "punden" (atau pundian) berasal dari bahasa Jawa. Kata pepunden yang berarti "objek-objek pemujaan" mirip pengertiannya dengan konsep kabuyutan pada masyarakat Sunda. Dalam punden berundak, konsep dasar yang dipegang adalah para leluhur atau pihak yang dipuja berada pada tempat-tempat tinggi (biasanya puncak gunung). Istilah punden berundak menegaskan fungsi pemujaan/penghormatan atas leluhur, tidak semata struktur dasar tata ruangnya

2. Punden berundak 


Punden berundak atau teras berundak adalah struktur tata ruang bangunan yang berupa teras atau trap berganda yang mengarah pada satu titik dengan tiap teras semakin tinggi posisinya. Struktur ini kerap ditemukan pada situs kepurbakalaan di Nusantara, sehingga dianggap sebagai salah satu ciri kebudayaan asli Nusantara. Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk di Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara sampai Polinesia, meskipun di kawasan Polinesia tidak selalu berupa undakan, dalam struktur yang dikenal sebagai marae oleh orang Maori. Masuknya agama-agama dari luar sempat melunturkan praktik pembuatan punden berundak pada beberapa tempat di Nusantara, tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli ini pada bangunan-bangunan dari periode sejarah berikutnya, seperti terlihat pada Candi Borobudur, Candi Ceto, dan Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.
3. Kubur batu
Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini, umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar. Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke barat.

Kubur batu adalah

Pada masa prasejarah ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu merupakan salah satu dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan sesuai dengan namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan (stonecists) bagi orang-orang yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup pada masa megalit. Kubur batu ini sudah dilakukan pengamanan dengan cara diberi pagar keliling yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 5,50 meter dan lebar 5 meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang penyangga dari kayu dan pondasi semen.
4. Sarkofagus
Sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara wadah dan tutup berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.

Sarkofagus adalah

Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan alabaster
5. Dolmen
Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi, sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di letakan di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang ada hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.

Dolmen adalah

 Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan kalau masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua belah pihak.
6. Arca batu
Arca batu banyak di temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia, diantaranya pasemah, Sumatra Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai binatang atau manusia dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang dinamakan Batu Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat pahatan wajah manusia yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek pemujaan.

Arca adalah

Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi, yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti “penubuhan”, murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan. Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji. Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.
7. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak ditemukan di situs Gilimanuk, Bali.

Waruga adalah

Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.

Sumber
wikipedia.org
Internet

Rabu, 17 Juni 2015

Empat habitat Rafflesia Bengkulu berpotensi objek ekowisata

Bengkulu (ANTARA News) - Empat lokasi habitat bunga langka Rafflesia (Rafflesia sp) di empat kabupaten di Provinsi Bengkulu berpotensi menjadi objek ekowisata, kata Koordinator Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu, Sofian Ramadhan.


FOTO ANTARA/ Helti Sipayung

"Ada empat lokasi habitat Rafflesia yang terdapat di wilayah hutan empat kabupaten sudah kami petakan dan bisa jadi tujuan wisata," katanya, di Bengkulu, Minggu.

Empat lokasi itu, di Hutan Lindung Bukit Daun di Kabupaten Kepahiang, HL Boven Lais di Kabupaten Bengkulu Utara, Cagar Alam Taba Penanjung Kabupaten Bengkulu Tengah, dan kawasan hutan di Padang Guci Kabupaten Kaur.

Sofian mengatakan di empat lokasi habitat tersebut sudah ada kelompok masyarakat yang secara sukarela mengawasi dan melestarikan bunga langka endemik Pulau Sumatera itu.

Hasil ekspedisi KPPL bersama kelompok masyarakat itu, ada dua jenis Rafflesia yang tumbuh di habitat tersebut yakni jenis Rafflesia arnoldii di Kabupaten Bengkulu Utara, Kepahiang, dan Bengkulu Tengah serta jenis Rafflesia bengkuluensis di Kabupaten Kaur.

"Sebenarnya ada empat jenis bunga Rafflesia yang hidup di hutan-hutan Bengkulu yakni jenis Rafflesia arnoldii, Rafflesia gadutensis, Rafflesia bengkuluensis, dan Rafflesia hasselti," ucapnya.

Sofian mengatakan dari empat lokasi itu, dua lokasi yang paling sering dikunjungi wisatawan yakni HL Bukit Daun dan Cagar Alam Taba Penanjung karena lokasinya berada di dalam hutan dekat jalan lintas yang menghubungkan Kota Bengkulu dengan empat kabupaten yakni Bengkulu Tengah, Kepahiang, Lebong dan Rejanglebong.

Ia menambahkan bahwa empat lokasi ini dapat dikelola lebih profesional dengan melibatkan masyarakat sehingga menjadi objek wisata andalan. Salah satu "jurus" untuk itu adalah membangun rumah-rumah singgah.

Editor: Ade Marboen

LIPI susun strategi rencana aksi konservasi Rafflesia spp

Bogor (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini tengah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk flora langka kharismatik Indonesia, khususnya Rafflesia spp dan Amorphophallus spp. 

Foto by Sofian KPPL
"Penyusunan SRAK ini gebrakan anyar karena kali pertama dilakukan di Indonesia untuk bidang flora," kata Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Didik Widyatmoko, dalam Lokakarya Nasional penyusunan SRAK Rafflesia dan Amorphophallus di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) baru dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bagi fauna saja.

"Ini momentum sangat penting, karena selama ini Kementerian LHK konsen pada satwa-satwa besar saja, tumbuhan juga sangat penting, mikroba juga. Apalagi Rafflesia dan Amorphophallus menjadi ikon Indonesia," katanya.

Dikatakannya, penyusunan SRAK kali ini adalah salah satu kontribusi LIPI sebagai otoritas ilmiah di bidang konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia. 

Mengingat data dan rekomendasi ilmiah untuk konservasi kedua jenis flora Rafflesia spp dan Amorphophallus spp sulit diimplementasikan tanpa kerja sama dengan Kementerian LHK sebagai pemegang otoritas manajemen konservasi in situ dan keanekaragaman hayatinya. 

Sementara itu, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK, Adi Susmianto, menyebutkan, ide dasar SRAK Rafflesia spp dan Amorphophallus spp muncul dari pemerintah Provinsi Bengkulu yang mau menjadikan dua puspa langka tersebut sebagai ikon daerah.

Editor: Ade Marboen

Menuju International Symposium on Indonesian Giant Flowers Rafflesia and Amorphophallus 2015

Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor (PKT) LIPI bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu serta Dewan Riset Daerah Bengkulu menyelenggarakan Lokakarya Regional dalam rangka persiapan International Symposium on Indonesian Giant Flowers Rafflesia and Amorphophallus 2015 di Putri Gading Hotel, Bengkulu pada Selasa (5/5) kemarin.


Kepala PKT Kebun raya Bogor LIPI, Dr. Didik Widyatmoko mengatakan, tujuan lokakarya ini adalah penyusunan SRAK Puspa langka nasional. “Pentingnya penyusunan SRAK Rafflesia dan Amorphophallus sebagai acuan bagi para pihak untuk menentukan prioritas konservasi in situ dan ex situ,” ujarnya. “Selain itu, melalui lokakarya ini, dirancang pula program pembangunan yang tidak mengancam populasi flora-flora langka ini secara berkelanjutan. Harapannya, kondisi Rafflesia dan Amorphophallus di alam menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun mendatang,” sambungnya.

Magnet Dunia
“Kawasan hutan tropis Bengkulu telah lama diketahui menjadi habitat bagi dua flora  raksasa yang sangat dikagumi dunia Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum, hal ini tercatat dalam dunia botani sejarah kota Bengkulu sejak kedatangan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1818,” tutur Kepala BPP Stada Pemprov Bengkulu, Drs. H. Iriansyah saat membuka LokakaryaRegional Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rafflesia dan Amorphophallus.
“Keberadaan dua flora langka ini telah melambungkan nama Bengkulu dan Sumatera yang juga menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat bernilai dan berpotensi besar tidak saja dari sisi keilmuan namun juga sisi ekonomi,” tambahnya.

Iriansyah menambahkan, keunikan bunga Rafflesia dan Amorphophallus menjadi magnet yang luar biasa bagi mata dunia. “Penelitian bidang botani dan para ahli taksonomi yang terus menerus melakukan penelitian terkait flora tersebut guna mendalami kehidupan biologis dan pengembangan potensi nilai ekonomisnya ke depan,” jelasnya.

Pemprov Bengkulu sendiri mengharapkan bunga Rafflesia dan Amorphophallus tidak hanya sekedar icon saja bagi Bengkulu. Harapan ke depan, masyarakat Bengkulu dapat memaksimalkan manfaat keberadaan dua flora langka tersebut melalui labeling Bengkulu sebagai bumi Rafflesia dan Amorphophallus.

Inti resume yang penting ditekankan dan perlu ditindaklajuti dari lokakarya tersebut adalah segera antara lain pembuatan data base dan metode standar SOP konservasi in situ, peningkatan  populasi ex situ Rafflesia dan Amorphophallus, upaya keberlanjutan konservasi dan pengembangan potensi ekonomi, serta perlunya mengajak para pelaku pariwisata untuk mendukung ecotourism, terkait public awareness dan pendanaan.

Selain mengapresiasi rencana penyelenggaraan international symposium mendatang, kepada LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Iriansyah mengharapkan SRAK yang akan dilaunching oleh Menteri LHK dapat dijadikan output jangka panjang dari symposium tidak hanya bagi Bengkulu tetapi juga provinsi-provinsi lainnnya di Indonesia yang memiliki sebaran dua flora raksasa itu.

Sebagai informasi, acara lokakarya terbagi menjadi 3 sidang komisi parallel yaitu Konservasi in situ, konservasi ex situ dan public awareness dan fund raising. Bertindak sebagai fasilitator masing-masing dari Universitas Bengkulu, Kepala BKSDA Bengkulu, dan PKT Kebun Raya Bogor LIPI. Acara ditutup dengan pembacaan resume hasil lokakarya oleh ketua Komisi III DRD Bengkulu dan diserahkan kepada Panitia Pengarah Simposium untuk dilokakaryakan pada tingkat nasional sebelum bulan September.

Lokakarya ini juga dihadiri oleh Dewan Riset Daerah, DPRD Bengkulu, LSM Komunitas Pecinta Rafflesia dan Amorphophallus, serta Dinas Kehutanan, Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Dinas Kehutanan Pemprov Bengkulu dan Balai Taman Nasional dari seluruh provinsi di Sumatera, serta LSM seperti WWF dan TFCA di Sumatera.(mk)

Selasa, 16 Juni 2015

Puspa Langka Nasional Ini Dalam Masa Kepunahan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Satwa dan Bunga Nasional menetapkan Rafflesia Arnoldii sebagai bunga Nasional yang penyebutannya dikukuhkan sebagai puspa langka. Hanya saja, minimnya upaya perlindungan dan pelestarian populasi, habitat dan ekosistem puspa terbesar di dunia yang amat rentan mengalami kepunahan ini dalam masa kepunahan.

“Sejauh ini, upaya yang dilakukan pemerintah masih sebatas pada aturan dan kebijakan. Aksi konkret pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Padahal aksi konkret pemerintah sangat dibutuhkan. Minimnya upaya pemerintah secara tidak langsung mengakibatkan R. Arnoldi semakin terancam punah,” kata Koordinator Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu Sofian Ramadhan dihubungi Senin (15/6/2015) malam.

Oleh karena itu, Sofian berharap, pelaksanaan Simposium Internasional Rafflesia dan Amorphophalus 2015 yang akan dilaksanakan pada 14 -17  September 2015 di Bengkulu dapat menghasilkan strategi dan rencana aksi konservasi R. Arnoldi yang melibatkan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat. “Selama ini, hanya segelintir penduduk lokal yang berupaya melakukan perlindungan. Itupun dilakukan secara swadaya, tanpa adanya dukungan atau perhatian dari pemerintah,” tambah Sofian.

Dilansir http://www.mongabay.co.id pada 25 Februari 2015, Peneliti Rafflesia dari Universitas Bengkulu Agus Susatya menerangkan, rafflesia (termasuk Raffelsia Arnoldii) sangat rentan mengalami kepunahan karena bersifat holoparasit. Yakni, tidak memiliki akar, batang dan daun, melainkan hanya berupa kuncup atau bunga dan dilengkapi haustorium yang memiliki fungsi mirip akar yang menghisap sari makanan hasil fotosistesa dari tumbuhan inang. Oleh karena itu, kehidupan rafflesia sangat bergantung pada inangnya. Di lain sisi, kehidupan inang juga sangat tergantung dengan tumbuhan lainnya yang menjadi inang strukturalnya.

Siklus hidup rafflesia bisa mencapai 5 tahun dan terdiri dari 7 fase, meliputi proses penyerbukan, pembentukan buah dan biji, penyebaran biji, inokulasi biji ke inang, kemunculan kuncup bunga atau knop, kuncup yang matang dan bunga mekar. Kuncup rafflesia tumbuh di akar atau batang inang. Sehingga, bisa ditemui tumbuh di permukaan tanah atau menggantung di batang inang. Kuncup yang menggantung disebut juga aerial bud.

Masa mekarnya berlangsung antara 3 – 8 hari. Saat musim kemarau, bunga akan mekar pada hari terjadi hujan. Sedangkan saat musim penghujan, bunga akan mekar pada hari tidak tejadi hujan. Saat mekar, bau daging busuk akan tercium dan mengundang banyak lalat. Lalatlah yang membantu penyerbukan bunga rafflesia. Setelah mekar, mahkota bunga membusuk. Namun bagian dasar bunga rafflesia betina akan membentuk buah.

Waktu yang diperlukan buah untuk matang berkisar 6 hingga 8 bulan. Buah rafflesia yang matang biasanya dimakan Tupai (tupai javanica) dan Landak (Hystrix javanica). Di dalam buah terdapat banyak biji yang berbentuk polong atau kacang-kacangan. Kulit bijinya sangat keras dan sulit pecah. Bila tidak mati, biji akan menginokulasi ke inang. “Namun, bagaimana proses inokulasi biji dan perkembangan biji dalam tubuh inang belum diketahui,” tambah Agus.

Dari aspek reproduksi, rafflesia memerlukan bunga jantan dan betina yang mekar agar terjadi penyerbukan, dan agen penyerbukannya. Padahal, sangat jarang ditemukan bunga jantan dan betina yang mekar saat bersamaan dalam satu lokasi. Ironisnya lagi, tidak semua bunga betina yang mengalami penyerbukan akan menghasilkan biji buah yang terletak di dasar mahkota bunga.
Aspek lainnya adalah kematian rafflesia cukup tinggi. Dari injakan satwa hutan, dimakan oleh tupai dan landak hingga perusakan kuncup atau bunga oleh manusia jahil. “Meskipun tidak mengalami gangguan akibat aktivitas manusia, populasi rafflesia akan cenderung turun atau sangat rentan mengalami kepunahan. Itu dikarenakan sedikit kuncup yang hidup dan menjadi bunga, dan sedikit bunga yang menjadi buah, serta sedikit biji yang berubah menjadi kuncup,” tutur Agus.
Ancaman lebih serius disebabkan oleh pemotongan inang, pembalakan liar dan perladangan yang tidak mendukung siklus hidup rafflesia. ”Di dunia, bunga rafflesia masuk dalam kategori terancam punah. Namun, menurut saya justru sedang dalam masa kepunahan,” kata Agus secara terpisah sebagaimana dilansir http://www.kompas.com pada 20 Juli 2011. (**) 

Minggu, 07 Juni 2015

Peninggalan Batu Megalitik Gunung Agung Kaur Utara

Megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar. kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupun kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh leluhur (nenek moyang), Kepercayaan ini muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai meningkat.

Di Indonesia, beberapa etnik masih memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga sekarang.Salah satunya adalah masyarakat dari suku Basemah/Pasemah. Suku Basemah/Pasemah merupakan suatu masyarakat adat yang bermukim di beberapa wilayah dari 3 propinsi di pulau Sumatera Bagian Selatan, yaitu; Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung  berada di kaki Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi Palembang. Tinggalan megalitik Basemah/Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik basemah/pasemah], disebut oleh ahli arkeologi sebagai Budaya Megalitik Basemah/Pasemah. Nilai penting tinggalan megalitik Pasemah terutama adalah pada ketuaan usianya, yang diperkirakan sekitar 2000 tahun sebelum masehi atau sekitar 4000 tahun yang lalu. Kita dapat membayangkan pada masa itu kebudayaan manusia di dunia masih belum terlalu berkembang, namun di tanah Basemah/Pasemah telah hidup budaya masyarakat yang cukup maju.


Masyarakat Padang Guci, Kedurang, Kinal, dan lain - lain adalah masyarakat berasal dari suku Besemah/Pasemah yang bermukim di wilayah kaki Bukit Raje Mendare. Kepercayaan terhadap (Ajaran) Leluhur masih sangat kental. Masyarakat adat ini begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad. 

Salah satu contohnya adalah sebuah batu besar yang berada di desa Gunung Agung Kec. Kaur Utara Propinsi Bengkulu. Batu ini berbentuk bundar dengan panjang 2,4 m, lebar 1, 2 m, dan tinggi 1, 7 m. Batu ini dimanfaakan oleh penduduk lokal untuk berziarah kepada (roh) leluhur (puyang).


Masyarakat desa Gunung Agung menamakan batu ini adalah "Batu Beidung" karena dulunya batu ini berbentuk menyerupai hidung. Akibat tangan jahil manusia yang tak bertanggung jawab, batu dibelah sehingga berbentuk bundar seperti yang dilihat saat ini. Konon, untuk melihat batu ini tidak boleh sembarangan masuk, bebicara kotor, apalagi merusak karena akan mengakibatkan malapetaka bagi diri orang tersebut.

Disekitar batu ini juga terdapat Batu Farmasi 4 (batu empat) persis seperti Batu Empat yang berada di desa Naga Rantai Kec. Padang Guci Hulu. Konon, Batu empat ini merupakan tempat para leluhur (puyang) dari empat penjuru untuk bermusyawarah.

 

Upaya dari  perlindungan terhadap kedua batu ini, seperti pemberian pagar, atap, dll, sama sekali belum terlihat. 

Demikian sekilas tentang sejarah peninggalan batu megalitik desa Gunung Agung Kac. Kaur Utara Kabupaten Kaur. Semoga Bermanfaat!

KPPGPPL - Jelajah Situs 5 Mei 2015

Rabu, 03 Juni 2015

Cughup Desa Naga Rantai Padang Guci Hulu

Desa Naga Rantai selain memiliki peninggalan Cagar Budaya yaitu Batu Farmasi 4 juga memiliki potensi wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah "Cughup Naga Rantai".


Cughup ini memiliki ketinggian mencapai 6 meter dan mempunyai aliran yang cukup deras.  Aliran sungainya membentuk sungai kecil mengalir tenang dan cukup dalam dan bermuara di Sungai Kule. Suasana disekitarnya pun terasa dingin dan sejuk karena disekelilingnya terdapat pohon - pohon besar menjulang tinggi. Banyaknya pohon - pohon besar tumbang membuat, membuat kondisi penampungan kolam terlihat lebih sempit.

Kata "Cughup" sebutan penduduk lokal untuk "Air Terjun" atau air yang mengalir dari ketinggian tertentu.

Untuk ke lokasi Cughup ini dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan berjalan kaki. Dimulai Dari desa Naga Rantai terlebih dahulu, kemudian menelusuri jalan setapak kebun coklat penduduk hingga akhirnya melintasi area pesawahan kule. Mata kita sedikit dimanjakan dengan pemandangan persawahan yang nan hijau dan luas yang sepertinya baru habis tanam.


Perjalanan dilanjutkan kembali dengan menenusuri Sungai Kele, Sungai kecil bebatuan yang licin dan mengalir cukup deras. Aliraan sungai inilah dimanfaatkan penduduk lokal untuk mengairi persawahan.


Bekisar 15 menit perjalan menelusuri sungai ini, Tim Ekspedisi menemukan tanaman langka yaitu Amorphophallus/Bunga Bangkai. Bunga Bangkai tumbuh dengan ketinggian sekitar 2 meter di tepi Sungai Kule. 


Untuk benar - benar sampai ke lokasi "cughup" tim pun kembali harus menulusuri sungai yang merupakan aliran Cughup itu sendiri. Kondisi sungainya pun cukup dalam dan sempit, disisi kanan - kiri dihapit jurang yang cukup tinggi. Dari sini perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit hingga sampai dilokasi.


Rasa lelah pun terobati setelah kita sampai di lokasi Cughup ini, suasana air terjun yang menarik di pandang mata, dingin dan sejuk langsung membuat kami bergegas untuk mandi dan tentunya tak lupa berpose - pose. :P

Karena hari sudah mulai gelap, kami pun bergegas untuk pulang kembali ke desa Naga rantai. Sebelum meninggalkan desa ini tidak lupa kami mengunjungi situs peninggalan megalitik "Batu Farmasi (batu 4)".


Desa Naga Rantai secara administratif masuk berada di wilayah Kecamatan Padang Guci Hulu, terletak di 200 km di selatan Kota Bengkulu, sekitar 60 km di sebelah utara kota Bintuhan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.

Lihat Cuplikanya di Youtube : https://youtu.be/pfsAEYJoaZ8

KPPGPPL Adventure 2 Juni 2015
Tim Ekspedisi : Nopri, Yoga, Joko, Wan, Murslin, & Herman.
Nantikan Petulangan Kami Berikutnya !